Senin, 18 Juni 2012

Jakarta

Satu setengah tahun sudah aku di Jakarta. Semua itu supaya aku bisa kumpul dengan suami. Rasanya 4 tahun LDR (long distance relationship) uda cukup kenyang buat kami.
Datang kesini dengan semangat seperti si Pitung mau lawan kumpeni. Iya, betapa tidak, ibarat anak desa yang merasa uda banyak ilmu hidup susah payah, pasti hidup di Jakarta bakal mudah, karena disini banyak fasilitas. Itu yang ada di benak ku saat itu.

"Gimana rasanya hidup di Jakarta?"

Pertanyaan itu yang paling sering ditanyakan pada ku awal-awal aku merantau ke Jakarta. Mulai dari bapak, ibu mertua, ortu, kakak ipar, sahabat, bahkan kadang aku pun bertanya ke diri ku sendiri sih...

Seperti jawaban umumnya, aku jawab "yah begitulah, macet, tapi udah biasa kok". Sok tegar. "Lebih enakan di Semarang kan?" lanjut kakak iparku. 

Awal kerja di Jakarta bulan Februari 2011, aku mulai harus beradaptasi dengan kota tak kenal tidur ini. Subuh bangun, lalu bersiap berangkat. Maklum, jarak antara tempat tinggal dan kantor harus ditempuh kurang lebih 2 jam naik angkot plus busway, dari Klender ke Pattimura Kebayoran Baru.

"Kamu terlambat berangkat 5 menit saja, lalu lintas sudah menggila" sering aku mendengar kalimat ini, dan merasakannya sendiri. Jadi, demi menjaga mood, akhirnya memilih berangkat pagi sekalian. 

Mungkin setengah penjuru Semarang, di jam-jam orang Jakarta berangkat pagi-pagi, malah sedang asyik makan sarapan pagi dengan santai sambil nonton TV. Tapi para Jakartans ini harus merelakan waktu tidur dan sarapannya nya terinterupsi dan meneruskannya di bus, atau di kantor. 

"Enjoy Jakarta!" itulah slogan pariwisata Jakarta. Jangan dimasukkan hati, nikmati saja ketidaknyamanan, keruwetan.. nikmati saja. Mungkin harus ditambahi kalimat penyemangat "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Tentu saja itu hanya akan terjadi jika pemimpin Jakarta benar-benar peduli dengan kondisi Jakarta ini.

Oke, kembali ke cerita.... (udah mulai ngantuk ya? *tabok satu2*)

Biasanya sih perjalanan berangkat kerja umumnya lancar, dari klender naik angkot sampai halte busway di Kp. Melayu. Dari sini perjalanan nge-busway dimulai, lalu pindah koridor di halte Matraman, lalu pindah lagi di halte Dukuh Atas dan turun di halte Masjid Agung Al-Azhar, lalu jalan kaki menyeberangi komplek Al-Azhar. Jika semua lancar, kurang lebih 1,5 jam sudah sampai.

Tapi jangan ditanya perjalanan pulangnya ya... jam pulang kerja Jakartans ini yang kadang random. Seringnya harus lebih berdesakan dan lebih antri, terutama di halte Dukuh atas dan Matraman. Pernah suatu kali antrian penumpang busway di Dukuh Atas mengular hingga ke ujung satunya jembatan. Kebayang dong ya udah capek, pengen cepet sampai rumah tapi harus stuck di situ. Pernah sejam lebih aku mengantri. Lah, bego banget mau antri sejam? Ya, abisnya waktu itu belum dapet gaji, duitnya masi nodong suami, jd ngirit, ga mau naik taksi. Dan lagi juga masi buta jakarta. Bisanya naik busway doang.

Kadang penumpang sampai berebut dan saling dorong untuk bisa mendapatkan tempat di dalam bus. Sungguh ironis. Aku bertanya-tanya, sepertinya jumlah armada busway ini sangat-sangat kurang. Entahlah. Ada yang bilang, yang bikin armada bus suka terlambat itu karena stasiun pengisian bahan bakarnya (untuk bus yang memakai gas) cuma ada 2, dan kadang pasokannya kurang, sehingga mengganggu kesinambungan jadwal bus. Dan akhirnya yang dirugikan adalah konsumen.

Tapi ini juga bisa disebabkan oleh kemacetan (yang juga terjadi di jalur busway) baca: jalur busway diserobot. Nah loh, akhirnya jalur busway bukan jalur yang steril lagi dong yah. Dulu aku sebagai penumpang busway sangat sangat kesal dengan aksi serobot ini. Lalu apa bedanya busway dengan bus macam kopaja, metromini dll itu. 

Makin lama, aku makin tidak tahan dengan segala problem busway yang merugikan ku sebagai konsumen. Dan aku memilih untuk... naik motor saja. Sejujurnya ini karena sudah menjadi kebiasaan ketika di Semarang, kemana-mana naik motor, tidak perlu bergantung pada angkutan. Mau kemana-mana tidak repot. Asalkan tau jalan. Lebih cepat sampai ke tujuan.

"Tapi lalu lintas di Jakarta itu beda dengan di Semarang, kamu nggak takut?" 

Banyak sekali yang melontarkan pertanyaan itu kepada ku. Dan aku jawab, tidak. Kesabaranku sudah habis untuk mengunggu bus yang jadwalnya sialan itu. Malah ada yang beranggapan bahwa naik busway itu lebih enak, tinggal naik, duduk, tidur, sampai deh. Tapi yang beranggapan seperti ini hanya orang-orang yang tidak pernah merasakan antrian maha dahsyat penumpang busway yang terlantar, belum lagi merasakan didorong-dorong masuk ke bus, belum lagi kalau tidak dapat tempat duduk dan sopirnya suka ugal-ugalan, badan seperti pontang-panting. Jika mereka tau kenyataannya mungkin mereka sudah pipis di celana dan membenarkan kata-kataku. 

Aku lebih baik terjaga diatas motor, menyetir dan meliuk-liuk diantara kemacetan. Aku bisa cepat sampai, bisa mempunyai waktu ekstra untuk beristirahat di rumah.

Mungkin aksi ku ini adalah aksi yang bertentangan dengan program pemerintah yang berusaha mengatasi kemacetan. Well, program mereka sendiri tidak dijalankan dengan benar. So, kampret lah.

Pernah sih kecelakaan di daerah kalimalang, di satu sisi karena kurang hati-hati juga karena terlalu dekat jarak motorku dengan motor di depanku dan saat hampir mendahuluinya, tiba-tiba motor di depan ku bergerak ke samping dan menyenggol ku. Dan, aku sukses mendarat di aspal dengan motor ku. Masih mujur karena aku cepat-cepat bangun dan menyingkir supaya tidak terlindas kendaraan lain. Harus lebih banyak hati-hati dan membaca pergerakan kendaraan lain di jalan. 

Begitulah.... kisah perjalanan di Jakarta ku ini. 

Bahkan saat aku sudah naik motor pun aku bisa melihat dengan jelas lalu lintas yang menggila itu. Dan bagaimana orang-orang berusaha ingin cepat sampai ke rumah untuk melepas lelah. Aku mendadak kasihan dengan orang-orang Jakarta ini. Sebegitu berharganya waktu, dan mereka harus ekstra berjuang. *pukpuk* Oh, aku pun jadi bagian dari mereka *pukpuk diri sendiri*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar